Mini Website sebagai Sarana Berbagi Pengetahuan

Contoh Kerangka dan Pengembangan Paragraf Narasi LENGKAP

KERANGKA

1. Perasaan yang muncul saat menerima kabar tersebut. 
2. Mengenang kembali Hamid Jabbar. 
3. Awal pertemuan dengan Hamid Jabbar. 
4. Kerjasama pementasan puisi dengan Hamid Jabbar. 
5. Diskusi-diskusi yang dilakukan dengan Hamid Jabbar. 

PENGEMBANGAN

Hamid Jabbar 
Sang Periang yang Arif 
Oleh Berthold Damchauser

Sabtu, 30 Mei: Ada e-mail pendek dari Agus R. Sarjono yang mengabari tentang meninggalnya Hamid Jabbar. Katanya, Hamid Jabbar (HJ)  meninggal selepas acara baca puisi. Saya kaget, sedih, dan langsung meminta informasi tam bahan daribaik saya yang telah berpulang. Jawaban Agus segera sampai: Malam itu (29 Mei) ada orasi budaya di UIN Jakarta. Orasi pertama Romo Magnis Suseno, kedua Bang Hamid, ketiga Putu Wijaya baca cerpen, kemudian Jamal D. Rahman baca puisi dan berorasi. Setelah itu harusnya tampil Franky Sahilatua kepada panitia dia akan membaca puisi juga. Waktu sebetulnya mepet dan jatahnya Franky, tapi HJ mengatakan bahwa dia akan membaca puisi, setelah itu langsung pulang. "Saya janji, habis baca puisi saya  HJ pun membaca puisi dan mendapat sambutan meriah. Kemudian, ia membaca sajak kedua. Di tengah pembacaan ia mengangkat kedua tangan dan berteriak di puncak pem bacaan, kemudian nonton terpaku. Kemudian, ia teguling di panggung dalam keadaan terlentang. Tepuk tangan dan sedikit tawa para penonton. Satu menit berlalu. Penonton keriuhan, HJ diangkut ke klinik, dan ketika diperiksa beliau sudah tidak ada.

Kabar pertama mengagetkan dan menyedihkan. Seorang kawan telah meninggalkan Anda secara mendadak. Kabar kedua, yaitu tentang wujud kematian Hamid Jabbar, menimbulkan perasaan lain lagi. Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yang mungkin merupakan saat yang paling bermakna bagi manusia saat meninggalkan dunia fana menuju dunia yang baru dalam keadaan melakukan sesuatu yang dicintai: berpuisi! Bukanlah itu suatu karunia yang sangat luar biasa? Dan, kiranya Hamid Jabbar ketika itu telah tahu apa yang akan terjadi. Bahwa ia akan pulang untuk selamanya atau ia pula yang ikut  inginan nya dikabulkan? Anda takkan tahu yang sebenarnya terjadi. Namun, dan bagaimanapun pesona dengan cara perginya itu. Rasa sedih berkurang, dan terhiburlah saya. Meninggal demikian rasanya begitu tepat bagi kawan saya ini. Pergi dengan meninggalkan bunyi gong penghabisan, bunyi yang indah dan dalam.

Sejak mendengar berita tentang Hamid telah saya alami dengan kawan ini. Ingat lagi akan manusia dan seniman Hamid Jabbar. Saya berkenalan dengan beliau pada pertengahan  itu saya mencari seorang deklamator puisi yang dapat saya libatkan pada acara "Puisi Indonesia dan terjemahannya ke Bahasa Jerman" yang akan diseleng gara  kan di rumah seorang diplomat Jerman di Jakarta. Saya mohon bantuan kepada Ramadhan K.H., dan ia langsung menyaran kan Hamid Jabbar, yang menurutnya termasuk deklamator Indonesia yang paling hebat. Pak Ramadhan pula yang mempertemukan saya dengan Hamid Jabbar, dan saya masih ingat, ketika di salah satu restoran di Taman Ismail Marzuki, saya pertama kali melihat Hamid Jabbar. Berbadan kecil, ber muka riang. Banyak tawa dan berguyon. Sama sekali tidak sombong. Saya langsung merasa simpatik dengannya. Memanggilnya "Bung". "Bung Hamid". Tak pernah memanggil nya "Bapak", yang sepatutnya saya lakukan, pa ling sedikit pada pertemuan pertama. Ia lebih tua dari saya, delapan tahun bedanya. Tapi tokoh ini memang bebas dari segala unsur yang membuat Anda segan dan me ngambil jarak. Maka, dengan sangat alamiah ia saya jadikan "Bung Hamid", dan sebaliknya saya ia jadikan "Bung Berthold".

Melibatkan Bung Hamid sebagai deklamator puisi ternyata pilihan yang benar. Saya terpukau mendengarkan Bung Hamid mendeklamasikan puisi. Dalam berdeklamasi ia seorang maestro. Gayanya tidak cuma satu, suara dan nadanya  banyak sesuai dengan masing-masing sajak.

Maka, kerja sama dengan Bung Hamid dalam acara baca puisi tentu saya lanjutkan. Pada Agustus 1998 saya boleh lagi tampil bersama Bung Hamid, kini dalam rangka acara yang cukup meriah, yaitu "Musikalisasi dan Pembacaan Puisi Indonesia dari Jerman" yang diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Ketika itu, Bung Hamid dan saya didampingi kelompok musik Sanggar Matahari dan pemusik Jerman Peter Habermehl. Pementasan yang dihadiri ratusan penonton cukup berhasil, ter utama karena final yang dahsyat, ketika puisi Bung Hamid sendiri yang disajikan dalam bentuk musikalisasi, baik oleh Sanggar Matahari maupun oleh Peter Habermehl,  yaitu sajaknya "Arus Fulus", tentang "Maha Dulus Sentoloyo", tentang "Para Tiran seDunia" (Konglomerat, IMF, Bank Dunia). Sajak menge sankan itu, yang ditulis pada 1990, adalah ramalan tepat tentang apa yang terjadi pada 1997 berkaitan dengan krisis moneter dan ekonomi di Asia, khususnya di Indonesia.

Konon, sajak terakhir yang dibacakan Hamid Jabbar pada malam 29 Mei itu, memuat kalimat: Walau Indonesia menangis, mari Anda ber nyanyi. Memang, seharusnya Anda melihat heran  kan jika puisi itu pun dapat ditafsir kan sebagai upaya melawan derita dengan keriangan. Dan itu, saya kira, juga merupakan salah satu ciri dari karya Hamid Jabbar. 


Saya mengharapkan bahwa puisi Hamid Jabbar pada suatu saat akan lebih diperhatikan, baik oleh pencinta sastra, maupun kritikus dan ilmuwan sastra di Indonesia. Jangan sampai Hamid Jabbar hanya dianggap "penyair parodi". Kalau sebutan ini tidak saja salah, paling sedikit terlalu amat membatasi kekayaan kepenyairan Hamid Jabbar. Tema utama puisi Hamid Jabbar adalah Tuhan! Dan dalam salah sebuah esainya cipta puisi: [...] maka bait selanjutnya semakin meningkat dan meningkat, sehingga puisi itu rimbun dengan beragam permainan kata, makna, suara, dan suasana, dan di ujung bait terakhirnya ber muara kepada Allah. 

Kini Hamid Jabbar sendiri telah bermuara. Selamat jalan, Sobat! Selamat jalan, Bung Hamid!
Tag : Teks Narasi
0 Komentar untuk "Contoh Kerangka dan Pengembangan Paragraf Narasi LENGKAP"

Silakan Tulis KOMENTAR yang tidak mengandung SARA DAN P*RN*GRAFI.

Back To Top